SD NEGERI KAUMAN 07

SD NEGERI KAUMAN 07

BANNER

Kamis, 31 Mei 2012

Tumbuhkan Minat Menulis sejak Dini

Koran SI - Koran SI
Sabtu, 26 September 2009 10:50 wib
detail berita
(Foto: Corbis)
ORANGTUA mana yang tak bangga jika buah hatinya mampu merangkai kata menjadi tulisan menarik. Membiasakan anak menulis sejak dini merupakan langkah tepat mengasah keterampilan menulisnya.

Setiap anak adalah seniman. Untuk menjadikan mereka "seniman bahasa" atau dengan kata lain penulis, tentunya orangtua harus sejak dini membiasakan si kecil menulis. Upaya ini bahkan bisa dimulai sebelum anak bisa menulis,yakni dengan cara membacakan cerita atau memberikan buku-buku cerita bergambar.

"Intinya adalah membiasakan anak suka membaca dulu,misalnya sejak usia 6 bulan orangtua rajin mengajak anak membaca atau mengajarkan nyanyian alpabetikal untuk mengenalkan abjad. Berawal dari reader, anak akan lebih mudah menjadi writer," ujar psikolog dari Langkahku Educare, Alifa Abdullah, saat mengisi acara Unilever Daycare 2009 di Graha Unilever Jakarta, belum lama ini.

Pernyataan Alifa diamini penulis novel dan buku anak, Clara Ng. Untuk melatih keterampilan menulis dari dua buah hatinya, wanita kelahiran 1973 ini sudah membiasakan anak dengan buku sejak usia bayi. Tak heran, rumahnya pun laksana "gudang ilmu" karena dipenuhi buku.

"Daripada menonton televisi, sejak anak masih bayi, saya lebih suka mendudukkan mereka di kursi tinggi sambil memberikan buku sehingga si anak bisa bermain dan membuka-buka buku. Sampai sekarang pun, satu buku sebelum tidur itu wajib," ucap Clara yang memiliki anak usia 7 dan 4 tahun.

Berkat ketekunannya membiasakan anak akrab dengan buku sejak dini, Clara mendapati kemampuan anak-anaknya dalam menyerap bahasa atau logika cerita dari buku-buku bergambar dapat berkembang dengan baik.

"Anak saya yang besar di sekolah punya perhatian besar terhadap seni yang menurut saya porsinya cukup layak untuk bersanding dengan pelajaran sains lainnya," tutur pengarang novel Dimsum Terakhir itu.

Setiap anak, tanpa memandang bakatnya yang beragam, sejatinya mampu menulis. Dalam konteks ini, janganlah terpaku pada pemikiran atau keinginan menjadikan anak penulis hebat karena esensi dan manfaat menulis jauh lebih luas lagi. "Anak-anak pasti punya pemikiran tentang sesuatu hal. Keterampilan menulis itu penting supaya anak terbiasa mengungkapkan gagasan yang dimilikinya secara runtut," ujar penulis buku, Bunda Aini.

"Menulis merupakan proses manajemen berpikir. Walaupun tidak berbakat menulis, kalau sudah terbiasa kecerdasan anak bias terpacu. Untuk itu, orangtua hendaknya memberikan fasilitas seluas-luasnya, namun tidak boleh dipaksakan. Biarkan anak bereksplorasi sesuai minat dan bakatnya," kata Alifa.

Untuk memulainya, lakukan hal sederhana seperti menuliskan emosi atau perasaan di buku harian (diary). Ingatlah bahwasanya setiap kejadian atau pengalaman hidup sehari-hari bisa dibingkai hingga membentuk cerita utuh yang menarik untuk disimak.

Orangtua bisa membantu memberikan contoh atau stimulus supaya anak tidak blank mau menulis apa. Misalnya menceritakan pengalaman saat liburan panjang. Cerita-cerita pendek tadi bila perlu didokumentasikan dengan membuat folder khusus. Suatu saat jika cerita lama ini dibacakan lagi, anak bisa termotivasi untuk lebih giat menulis.

"Perlu diingat bahwasanya ada saat di mana buku harian tidak boleh dilihat lagi oleh orangtuanya. Kalau sudah begini, orangtua jangan memaksa. Jika anak merasa cukup nyaman,mereka malah akan datang sendiri menunjukkan tulisannya. Coba juga mengirimkan tulisan anak ke media massa. Kalau diterbitkan tentunya akan tercipta rasa bangga," paparnya.

Sementara itu, Clara yang telah menelurkan sejumlah seri buku anak seperti Berbagi Cerita Berbagi Cinta dan Bagai Bumi Berhenti Berputar itu menegaskan bahwasanya proses kreatif menulis selalu dimulai dengan membaca.

Dalam hal ini, anak menyerap apa yang dilihat, dengar, dan rasakan sehingga bisa menghasilkan cerita. Namun, mereka juga harus diajari bagaimana menggunakan logika dalam tulisannya. Sebagai contoh, sang anak menuliskan cerita tentang seekor kelinci. Tanpa sebab jelas, ia mengisahkan si kelinci tiba-tiba mati. Di sini orangtua harus menanyakan, kenapa si kelinci bisa mati? Misalnya, apakah karena ada virus atau mungkin keracunan? Dengan begitu, anak tidak sembarangan membangun alur cerita hanya berdasarkan keinginan untuk menakut-nakuti atau membuat pembacanya kaget semata.

"Lakukan penilaian. Jika ingin mengkritik, berhati-hatilah agar jangan sampai anak jadi tersinggung dan tidak berani mencoba lagi atau malah menjadi dendam," saran Clara.

Satu hal lagi yang tidak bisa terlepas dari dunia anak-anak adalah unsur imajinasi. Anak-anak sekitar usia tiga tahun ke atas, imajinasi dan fantasinya mulai berkembang dengan bebas dan kadang tak terbatas. Clara pun menyarankan untuk mengembangkan imajinasi anak tersebut di "dunia lain" semisal dunia dongeng karangannya. Misalnya, jerapah berwarna pink atau gajah bermotif tutul-tutul.

"Menulis adalah memasuki dunia di mana hanya ada kau dan tokoh-tokoh ciptaanmu yang berlarian dalam otakmu," ujarnya.

Cara lainnya yang bisa dilakukan adalah mengajukan pertanyaan yang lucu atau unik di luar pemikiran, yang tujuannya memancing kreativitas dan kemampuan anak dalam memecahkan masalah. Clara mengaku cukup sering melakukan hal ini dan jawaban sang anak pun dinilai kreatif. Misalnya, ia pernah bertanya: apa yang terjadi kalau suara kita melarikan diri dari atau melompat dari mulut kita begitu saja.

Sang anak pun menjawab: kita tangkap suara itu dengan perangkap tikus, lalu dimasukkan lagi ke dalam mulut dengan cara minum air yang banyak. Wah, sebuah imajinasi khas anak-anak yang kreatif bukan? (jri)

Tidak ada komentar: